Abu Hurairah, Pribadi yang Mengagumkan
29/03/2012 Tinggalkan komentar
Pribadi Beliau Mengagumkan[1]
Musuh-musuh Islam selalu mengintai dan mencari kelengahan kaum muslimin, kemudian melemparkan syubhat-syubhat untuk membuat keraguan atas kebenaran Islam. Mereka berusaha mengaburkan sejarah emas generasi sahabat, dengan mencoba mencela dan melecehkannya, khususnya para perawi hadits dari Rosulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya, yaitu perawi yang banyak meriwayatkan hadits Rosulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dialah Abu Hurairah. Oleh karenanya, kita perlu mengetahui sejarah kehidupannya, agar kaum muslimin memiliki hujjah, tidak terbawa arus propaganda dan provokasi musuh-musuh Islam.
Nama dan Nasabnya
Namanya pada masa jahiliyah –menurut pendapat yang rojih- adalah Abdu Syams, sebagaimana ditetapkan Imam Bukhari, at-Tirmidzi dan al-Hakim. Adapun setelah masuk Islam, namanya telah dirubah oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini, dikarenakan tidak boleh memberi nama seseorang dengan nama “hamba fulan” (Abdul Fulan) atau hamba sesuatu. Yang boleh, hanya hamba Allah (Abdullah) semata, sehingga beliau diberi nama Abdullah atau Abdurrahman, namun Abdurrahman-lah yang lebih rojih.
Nama tersebut merupakan salah satu nama dari sekian nama-nama yang dimiliki Abu Hurairah. Menurut Al Hakim, nama itulah yang paling shah. Akan tetapi, Abu Ubaid berkata, bahwa nama beliau adalah Abdullah;dan Ibnu Khuzaimah terbiasa menggunakan nama tersebut.
Imam Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrod mengutip dari Musa bin Ya’qub Al Juma’I yang telah bertemu dengan sahabat-sahabat setia Abu Hurairah. Bahwa sebelumnya, Abu Hurairah bernama Abdullah. Hal ini membuat Ibnu Hajar mengakui adanya kemungkinan benarnya dua nama tersebut.
Abu Hurairah rodhiyallaahu ‘anhu adalah orang Dausi –dengan difathahkan huruf “dal” dan disukunkan huruf “waw”- berasal dari Daus bin ‘Adtsan. Kabilah Daus ini berasal dari al-Azd. Sedangkan al-Azd sendiri merupakan qabilah Yamaniyah Qathaniyah yang terkenal silsilah nasab keturunannya terjaga sampai kakek tertinggi al-Azd bin al-Ghauts, sebagaimana telah dijelaskan oleh seorang pakar sejarah terpercaya Khalifah bin Khayyath.
Jika demikian halnya, berarti dia adalah Abu Hurairah ad-Dausi al-Yamani. Imam Ad Daulahi meriwayatkan dari seorang tabi’in terkenal, Yazid bin Abu Hubaib, bahwa Abu Hurairah ad-Dausi al-Yamani merupakan sekutu Abu Bakar Ash Shidiq.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah kepalsuan dan kebodohan orang yang menuduh, bahwa nasab Abu Hurairah tidak dikenal (majhul). Bahkan (perlu) kami tambahkan di sini dengan menyatakan, bahwa Ibnu Ishaq –pengarang kitab sirah yang terkenal itu- berkomentar tentang Abu Hurairah seraya berkata, “Abu Hurairah adalah seorang [yang, ed-] mulia. Berkedudukan tinggi dan dipercaya di kalangan Bani Daus. Bani Daus senang memilikinya.”
Pamannya bernama Sa’ad bin Abu Dzubab yang diangkat Rosulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai gubernur wilayah Daus. Pengangkatan tersebut berlangsung hingga pemerintahan Umar. Nampaknya, kalaulah Sa’ad pada masa jahiliyah bukan seorang gubernur, niscaya Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengangkatnya sebagai gubernur. Orang-orang yang meneliti sikap politik Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mengangkat gubernur atau pemimpin bagi setiap suku atau kabilah, akan mengetahui, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu antusias mengangkat orang yang pada masa jahiliyahnya menjadi pemimpin bagi kaumnya, jika masuk Islam dan faqih (ahli agama), sebagaimana pengangkatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap sahabat yang mulia Jarir bin Abdillah al-Bajali untuk menjadi wakil bagi kaumnya. (Demikian juga) Adi bin Hatim at-Tha’i juga diangkat sebagai pemimpin bagi kaumnya.
Abu Ubaid al-Qosim bin Salam mengatakan: Sahwan bin Isa telah menceritakan kepada kami dari al-Haits bin Abdurrahman bin Abu dzubab dari Munir bin Abdullah dari ayahnya dari Sa’ad bin Abu Dzubab, ia berkata, “Aku mendatangi Rosulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku menyatakan diri masuk Islam. Lalu aku bertanya, ‘Wahai, Rosulullah. Jadikan untuk kaumku pemimpin yang akan mengambil zakat mereka yang telah masuk Islam,’ lalu Nabi menunaikan hal itu dan mengangkatku sebagai amil untuk mengambil zakat mereka. Abu Bakar pun mengangkatku juga. Demikian pula Umar mengangkatku untuk melakukan tugas tersebut.”
Dalam kisah tersebut, kalau kita perhatikan, memang tidak terdapat isyarat bahwa Sa’ad sebagai paman dari Abu Hurairah. Namun isyarat tersebut terdapat pada sejarah biografi anaknya, al-Harits bin Sa’ad bin Abu Dzubab. Yaitu ketika Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf menjelaskan, bahwa dia adalah anak dari paman Abu Hurairah. Telah sampai kepada kita keterangan yang jelas dari Abu Salamah dengan sanad yang shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Demikian juga Ibnu Hibban menyebutkan hal itu dalam biografinya, bahwa ia merupakan anak dari paman Abu Hurairah.
Demikianlah kemuliaan dan keutamaan yang dimiliki Abu Hurairah dari jalur pamannya seorang gubernur. Adapun dari jalur paman dari ibu; sesungguhnya ibunya (Umaimah binti Sufaih bin al-Harits dari Bani Daus) memiliki saudara bernama Sa’ad bin Sufaih, seorang pahlawan pemberani Bani Daus. Pamannya ini pun telah masuk Islam. Dengan demikian menyatulah kemuliaan Abu Hurairah dari dua arah. Dan nyatalah kebatilan pendapat orang yang menyatakan jika Abu Hurairah seorang fakir terlantar.
Sebab Kunyahnya yang Aneh
Abu Hurairah terkenal dengan kunyah (julukan)-nya. Tentang julukan ini, Imam al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah rodhiyallaahu ‘anhu, dia rodhiyallaahu ‘anhu berkata, “Mereka memberikan gelar dan julukan kepadaku Abu Hurairah. Penyebabnya, tidak lain karena aku pernah menggembalakan kambing untuk keluargaku. Dan saat itu kudapati anak kucing liar, lalu aku masukkan ke kantong lenganku. Ketika aku pulang kembali ke rumah, mereka mendengar suara kucing di kamarku, kemudian bertanya, ‘Suara apakah itu wahai Abdu Syams?’ Aku pun menjawab, ‘Anak kucing yang kutemukan (saat menggembala kambing). Mereka berkata,’Kalau begitu, engkau adalah Abu Hurairah’. Semenjak itu, julukan dan gelar itu terus melekat padaku.”
Akan tetapi Abu Hurairah berkata, “Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggilku Abu Hirin dan orang-orang memanggilku Abu Hurairah.” Karenanya ia berkata, “Kalian memanggil dan menjulukiku dengan julukan laki-laki (Abu Hirin) lebih aku sukai dari pada julukan wanita (Abu Huroiroh)”. Disebutkan di beberapa tempat dalam shohih Bukhari bahwa dalam berbagai kesempatan dan peristiwa Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil Abu Hurairah dengan panggilan Abu Hirin.
Sifat (Ciri Khusus) yang Dimilikinya
Abdurrahman bin Abu Labibah memberikan sifat khusus bagi Abu Hurairah. Dia berkulit sawo matang, bahu dan pundaknya cukup lebar, rambutnya dikepang dan dibelah dua, dan gigi serinya renggang.
Muhammmad bin Sirin memberikan ciri khusus, bahwa Abu Hurairah adalah seorang yang berkulit putih, halus, lembut, dan tidak kasar. Dia mengecat jenggotnya dengan hanna’ (pohon pacar) dan berpakaian dengan kain katun.
Keislaman dan Hijrahnya
Di tengah-tengah kesesatan jahiliyah dan kegelapan syirik, sampailah seruan dakwah tauhid dari Makkah kepada seorang yang mulia, penyair ulung dan dermawan, yaitu ath-Thufail bin Amr ad-Dausi. Kemudian ath-Thufail masuk Islam dan mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Makkah, lalu kembali kepada kaumnya, sehingga ada yang masuk Islam. Di antara mereka adalah Abu Hurairah.
Ibnu Hajar menyebutkan riwayat Hisyam bin al-Kalbi tentang kisah ath-Thufail. Bahwa ia mendakwahi kaumnya untuk masuk Islam, lalu ayahnya masuk Islam, sedangkan ibunya tidak. Dan Abu Hurairah saja yang memenuhi panggilannya. Demikianlah permulaan kisah keislaman Abu Hurairah.
Kemudian ath-Thufail bin Amr ad-Dausi mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya, “Apakah baginda Nabi berada dalam lindungan yang cukup kuat dan jaminan keamanan?” Dia berkata lagi, “Ada perlindungan dan suaka politik pada Bani Daus yang ada sejak zaman jahiliyah (jika engkau ingin),” namun Nabi enggan untuk mendapatkan jaminan keamanan tersebut, karena (memillih) jaminan Allah kepada kaum Anshar. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, ath-Thufail pun hijrah ke Madinah pula.
Ath-Thufail berkata, “Aku mendatangi Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersama orang-orang yang telah masuk Islam dari kaumku, sedangkan (waktu itu) Rasulullah berada di Khaibar, hingga tinggal di Madinah tujuh puluh atau delapan puluh keluarga dari Bani Daus.”
Mulai saat itulah Abu Hurairah bertugas dan bertangggung jawab untuk memaparkan berita-berita tentang dirinya dan berita para delegasi tersebut. Abu Hurairah berkata, “Ketika Rasulullah berangkat menuju Khaibar, Beliau mengangkat Siba’ bin al-Fathah al-Ghifari sebagai pejabat sementara Madinah, kami lalu tiba di sana. Ketiba di Madinah, jumlah kami sebanyak 80 keluarga Bani Daus.” Berkata seseorang, “Rasulullah berada di Khaibar dan akan datang menemui kalian,” akupun menimpalinya, “Tidaklah aku mendengar Rasulullah beristitahat di suatu tempat, kecuali aku mendatanginya. Lalu kami menemui Siba’ bin al-Fathah dan kami bersiap-siap. Kemudian aku menemui Rasulullaah pada suatu hari sebelum penaklukan (kota Makkah) atau sehari setelahnya. Rasulullah telah menaklukkan an-Nuthah dalam keadaan mengepung Ahli Kutaibah (penduduk benteng Kutaibah). Kamipun bertahan di sana hingga Allah Ta’ala membukanya untuk kami.”
Masa Persahabatannya Dengan Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam
Abu Harairah radhiyallaahu anhu datang ke Khaibar pada bulan Shafar tahun ke 7 H, sedangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 11 Hijriah. Sehingga lamanya bersahabat dengan Nabi sekitar 4 tahun lebih. Masa-masa itulah yang ditegaskan oleh Humaid binAbdurrahman al-Himyari dengan pernyataannya, “Aku berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi selama empat tahun.”
Namun Abu hurairah sendiri menjelaskan dalam Shahih Bukhari, bahwa ia menemani Rasulullah selama 3 tahun. Seolah-olah Abu Hurairah menghitung masa menjadi pengikut setia ‘mulazamah’ hanya selama 3 tahun, yaitu setelah kedatangan mereka dari khaibar, atau ia tidak menghitung waktu-waktu safar (perjalanan) bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; baik untuk berperang, berhaji maupun umrah. Sebab mulazamahnya ketika berada di Madinah sangatlah berbeda dengan mulazamah sewaktu bepergian. Atau masa-masa tersebut diartikan sebagai waktu ketika dia berada di Shuffah (menjadi Ahli Shuffah) yang sangat bersemangat dan antusias. Sedangkan pada waktu lainnya, sikap antusiasme tersebut tidak sebagaimana disebutkan. Wallaahu A’lam. Atau kurangnya hitungan masa tersebut dengan tidak memasukkan perhitungan saat bepergian ke Bahrain tahun ke delapan Hijriah ditemani al-Alla’ al-Hadrami, gubernur Nabi untuk wilayah Bahrain.
Keutamaan yang Diraih Abu Hurairah
Sungguh, masuknya Abu Hurairah radhiyallaahu anhu di kalangan para sahabat, memberinya keutamaan bertambah-tambah. Dia mendapatkan pahala sebagai sahabat Nabi, mandapatkan sifat ‘Adalah (adil) yang menempel pada semua sahabat yang telah ditetapkan dalam ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang Mulia shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang menolaknya, berarti telah menolak al-Qur’an dan hadits-hadits shahih serta ijma dari generasi pertama dari kaum muslimin.
Dia mendapatkan keutamaan atas doa Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada kabilahnya, Daus, agar mendapat petunjuk. Juga mendapatkan keutamaan Yaman, karena ia sebagai orang Yaman. Demikian juga mendapatkan pahala hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, karena hijrahnya sebelum penaklukan kota Makkah dan mendapatkan keutamaan doa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Sekaligus mendapatkan keutamaan sebagai orang muslim dan Ahli Shuffah, pahala berjihad di bawah panji Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta pahala menghafal hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikannya.
Cinta Abu Hurairah Kepada Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam
Abu Hurairah radhiyallaahu anhu sangat mencintai Rasulullahu shallallaahu alaihi wa sallam. Ketulusan cintanya diungkapkan dengan pernyataan: “Wahai Baginda Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Ketika aku melihat engkau, bahagia ku rasakan dalam diriku dan sejuk pandanganku.” Kecintaan itu menanamkan perasaan mendalam terhadap nama Rasulullah sampai-sampai ia tidak mampu menguasai dirinya, terisak menangis berkali-kali sampai pinsan.
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad hasan (baik) sampai kepada Syafi’i al-Ashbahi tentang gambaran nyata cinta Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ketika kecintaannya itu semakin menguasai dirinya.
Ketika Safi’i memasuki Madinah, tiba-tiba ada seseorang tengah dikelilingi banyak orang. Ia bertanya, “Siapakah orang itu?” mereka menjawab “Abu Hurairah.” Lalu aku mendekatinya hingga duduk di hadapannya, sedangkan ia sedang menyampaikan hadits kepada mereka. Ketika ia diam dan sendirian, aku bertanya kepadanya, “Aku tegaskan dengan sebenar-benarnya ketika Anda menyampaikan kepadaku satu hadits yang Anda dengar dari Rasulullah, Anda faham dan ketahui.” Lalu Abu hurairah menjawab, “Ya. Akan aku sampaikan kepadamu satu hadits yang telah disampaikan Rasulullah kepadaku, aku faham dan aku ketahui, “Lalu Abu Hurairah tertegun sampai tercengang.
Ketekunan Abu Hurairah Menahan Lapar Untuk Belajar
Abu Hurairah radhiyallaahu anhu hidup pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihin wa sallam di Shuffah dalam keadaman faqir, tidak memiliki harta dan mata pencaharian. Dia merasa cukup dengan kemudahan yang diberikan Allah kepadanya dan kepada para Ahlus Shuffah, yaitu berupa hadiah untuk mereka dan makanan yang dinikmati bersama dengan Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dia menyiapkan diri menemani dan mulazamah dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam semata, hanya karena ingin mendengarkan dan menghafal seluruh sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan untuk menyebarkanya. Juga untuk melihat perbuatan, keadaan, pergaulan dan keputusan hukum beliau shallallaahu ‘alihi wa sallam.
Di antaranya adalah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Muhammad bin Sirin, ia berkata: Kami pernah berada di sisi Abu Hurairah. radhiyallaahu anhu, dia memakai dua helai pakaian yang dicelup dengan tanah merah (berwarna merah) dari bahan katun, lalu ia menariknya seraya mengucapkan, “Bakh, Bakh!” Abu Hurairah menarik pakaiannya seraya berkata, “Sungguh aku pernah terjatuh di antara mimbar Nabi dan kamar Aisyah radhiyallahu anha dalam keadaan pingsan, lalu datanglah seseorang dengan meletakkan kakinya di leherku. Dia menganggapku sudah gila, padahal aku tidak gila. Tidak menimpaku kecuali kelaparan.
Abu Hurairah Berjihad
Abu Hurairah radhiyallaahu anhu pun tidak tertinggal melaksanakan tugas suci membela agama dengan berperang di jalan Allah, sebagaimana nampak keikutsertaannya dalam beberapa peperangan Nabi, di antaranya:
1. Keikutsertaannya dalam perang Khaibar dan perang di Wadi al-Qura’.
2. Keikutsertaannya dalam Umratul Qadha (umrah pengganti).
3. Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang Dzatur Riqa’, sebagaimana disampaikan Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku shalat bersama Rasul shallallaahu alaihi wa sallam pada peperangan yang kami mendapati shalat khauf (shalat karena takut).” Juga dikuatkan oleh kisah yang diriwayatkan Abu Dawud dari Urwah bin Zubair yang menceritakan dari Marwan bin al-Hakam, bahwa ia bertanya kepada Abu Hurairah: “Pernahkah Anda shalat bersama Rasul shallallaahu alaihi wa sallam shalat khauf?” Abu Hurairah menjawab, “Pernah.” Marwan bertanya, “kapan?” Abu Hurairah menjawab, “Tahun terjadinya perang Dzaturriqa’.”
4. Abu Hurairah radhiyallaahu anhu juga hadir dalam mengusir sebagian bangsa Yahudi Madinah. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu hurairah radhiyallaahu anhu tentang pengusiran tersebut. Ia berkata: Ketika kami di dalam masjid, Rasul shallallaahu alaihi wa sallam keluar, seraya bersabda, “Berangkatlah menuju pemukiman Yahudi.” Kamipun keluar hingga sampai di Baitul Midras. Lalu Beliau shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “ Masuklah ke dalam agama Islam, niscaya Anda selamat.ketahuilah, bahwa bumi ini milik Allah dan RasulNya.” Kisah ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim.
5. Keikutsertaan Abu Hurairah radhiyallaahu anhu dalam al-Fath al-Akbar (penaklukan Makkah), Hunain dan Thaif. Dipaparkan Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu, ia berkata: Maukah aku ajarkan pada kalian satu hadits tentang kalian, wahai seluruh kaum Anshar?
(Lalu ia menyebut penaklukan kota Makkah), seraya berkata, “Rasul berangkat ke Makkah. Setelah sampai di sana, lalu beliau mengangkat az-Zubair (sebagai pemimpin pasukan) di salah satu sayap pasukan. Dan di sayap yang lainnya Khalid. Beliau juga mengutus Abu Ubaidah (memimpin) pasukan infantry yang tidak berpakaian baju besi. Mereka pun mengambil tempat dan posisi di tengah-tengah lembah. Sementara itu, Rasul shallallaahu alaihi wa sallam berada dalam kelompok kecil (peleton) tersendiri. Beliau memandang sekeliling dan melihatku, beliau bertanya, “Abu Hurairahkah Anda?” Aku pun menjawab,”Kupenuhi panggilan engkau, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Tidak boleh menemuiku, kecuali kalangan Anshar –selain Saiban, menambahkan-(tambahan dari salah seorang perawi hadits ini). “Panggilkan Kaum Anshar.”Dia radhiyallaahu anhu berkata, “Mereka pun mengelilingi Rasul shallallaahu alaihi wa sallam. Sedangkan orang Quraisy dengan seluruh kabilah dan pengikutnya berkumpul sambil berkata, “Kita dahulukan mereka. Jika mereka mendapatkan sesuatu (kemenangan), kita pun akan (merasakan) bersama mereka. Dan jika mereka mendapatkan musibah, kita akan berikan apa yang diminta dari kita.”
Rosul shallallaahu alaihi wasallam pun bersabda, “Tidakkah kalian menyaksikan kumpulan kabilah Quraisy dan pengikut-pengikut mereka?” Lalu beliau meletakkan salah satu telapak tangannya di atas yang lainnya dan berkata, “Temuilah aku di Shafa.” Abu Hurairah berkata, “Kamipun bergegas berangkat. Maka tidak ada seorang pun dari kami yang ingin membunuh seseorang, kecuali membunuhnya. Dan tidak seorang pun dari mereka yang menghadang kami, sedikitpun.”
6. Keikutsertaan Abu Hurairah radhiyallaahu anhu dalam perang Tabuk, sebagaimana diriwayatkan Imam ath-Thahawi dengan sanad yang shahih sampai kepada beliau radhiyallahu anhu, ia berkata,”Kami keluar bersama Rasul shallallaahu alaihi wa sallam pada perang Tabuk.”
7. Keikutsertaan Abu Hurairah radhiyallaahu anhu dalam perang Mut’ah.
8. Keikutsertaannya menumpas gerakan pemurtadan (harakatu ar riddah), sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kisah penumpasan Abu Bakar radhiyallaahu anhu terhadap gerakan pemurtadan ini. Abu Hurairah berkata, Ketika Rasul telah wafat dan Abu Bakar diangkat sebagai pengganti beliau, serta kufurlah orang-orang yang kufur dari bangsa Arab. Umar radhiyallaahu anhu berkata kepada Abu Bakar radhiyallaahu anhu,”Wahai, Abu Bakar. Bagaimana anda akan memerangi mereka? Padahal Rosul shallallaahu alaihi wa sallam telah bersabda aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, karenanya barangsiapa telah mengucapkanya, ia telah terjaga dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan cara yang haq. Dan hisab berikutnya berada pada Allah. Abu Bakar menjawab, “Demi Allah aku akan memerangi orang-orang yang memisahkan antara sholat dan zakat, sebab zakat adalah haknya harta, demi Allah jika mereka menghalangiku meskipun sedikit, dalam riwayat lain ikat kepala, padahal sebelumnya pada zaman Nabi mereka menunaikanya,niscaya aku perangi mereka karena keenggananya itu. Umar radhiyallaahu anhu pun menimpalinya, “Demi Allah tidaklah aku melihat melainkan Allah telah melapangkan dada Abu Bakar radhiyallaahu anhu untuk memerangi mereka. Akupun mengetahui dia berada pada kebenaran.
Imam Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i memaparkan hal ini, tetapi lafadznya tidak menunjukan keikutsertaan Abu Hurairah dalam peperangan itu kecuali dalam riwayat An-Nasa’i dengan sanad yang tidak kuat. Namun dalam riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang telah dishohihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir, terdapat pernyataan Abu Hurairah setelah pemaparanya mengenai kisah tersebut: “kami berperang bersama Abu Bakar lalu kami memandangnya sebagi keputusan yang sangat tepat”.
9. Keikutsertaanya dalam perang Yarmuk, peperangan di Armenia dan daerah Jurjan, sebagaimana dipaparkan Ibnu Asyakir tentang kisah perang Yarmuk. Demikian juga Ibnu Hajar menyebutkanya dalam Al-Ishobah menukil dari Ibnu Asyakir juga.
Sedangkan Ibnu Kholdun memberikan catatan, bahwa pada masa kekhalifahan Ustman, Abu Hurairah radhiyallaahu anhuma tinggal bersama gubernur Armenia, Abdurahman bin Rabi’ah. Ketika Abdurahman terbunuh dalam peperangan melawan Turki, sebagian tentaranya menuju Jailan dan jurjan. Di dalam barisan tentara tersebut terdapat Salman Al-Farisi dan Abu Hurairah.
Abu Hurairah radhiyallaahu anhu tidak hanya mencukupkan dengan jihad yang terus menerus, mencurahkan kemampuan dan pengorbananya ini saja, tetapi ia juga berharap menambah dengan yang lainnya.
Imam An-Nasa’i meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu ia berkata, “Rasul shallallaahu alaihi wa sallam menjanjikan kami untuk memerangi India jika aku mendapatinya maka akan aku korbankan jiwa dan hartaku, karena jika aku terbunuh maka aku adalah syuhada yang paling utama. Dan jika aku kembali, maka aku adalah Abu Hurairah, orang yang dibebaskan dari api neraka (al-Muharroroh).
Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu dengan lafadz[2]
“Jika aku mendapatkan syahid, maka aku menjadi sebaik-baiknya syuhada, dan jika aku kembali(masih hidup), maka aku adalah Abu Hurairah Al-muharroroh(terbebas dari api neraka)”
Itulah gambaran singkat pribadi yang agung seorang sahabat besar yang namanya sengaja dicaci maki secara membabi buta oleh musuh-musuh Islam kaum zindig yang berkedok cinta ahli bait.
[1] Diangkat dari kitab Difa’ ‘An Abi Hurairah, karya Abdul Mun’im Shalih Al ‘Ali Al ‘Izzi, tanpa tahun, Dar Asy Syuruq, Bairut. Dengan perantaraan rubrik Mabhats Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004 M
[2] Fa inis tuhid tu kuntu min khoirisy syuhadaa-I wa in roja’tu fa ana abuu huroirotal muharroru
Sumber: blog Syabab yang menyalinnya secara bebas dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004 M, hal 12-21.