اَللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيْكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِيْ سُوْءًا أَوْ أَجُرُّهُ إِلَى مُسْلِمٍ
“Ya Allah, Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Wahai Tuhan Pencipta langit dan bumi, Tuhan segala sesuatu yang merajainya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan Yang berhak disembah, kecuali Engkau. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan diriku, syetan, dan bala tentaranya, atau aku menjalankan kejelekan terhadap diriku atau mendorong orang Islam padanya.”[1]
Shahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu.
Ungkapan عَالِمَ الْغَيْبِ ‘Maha Mengetahui yang gaib’, dalam keadaan manshub karena nida’ ‘panggilan’. Huruf nida’-nya adalah dihilangkan. Aslinya يَا عَالِمَ الْغَيْبِ ‘wahai Yang Maha Mengetahui yang gaib’. Juga boleh menjadi marfu sebagai khabar mubtada’ yang dihilangkan, yang aslinya: أَنْتَ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ‘Engkau Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata’.
Gaib adalah yang tidak berwujud; sedangkan syahadah adalah yang berwujud yang bisa diketahui sehingga seakan-akan seseorang menyaksikannya.
Dikatakan, “Gaib itu adalah yang tidak nyata dari para hamba. Sedangkan syahadah adalah apa-apa yang mereka saksikan.” Dikatakan pula, “Gaib adalah rahasia; sedangkan syahadah adalah yang terang dan jelas.” Dikatakan pula, “Gaib adalah akhirat; syahadah adalah dunia.” Dikatakan pula, عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ adalah Yang Maha Mengetahui apa-apa gang telah terjadi dan apa-apa yang akan terjadi’.
Ungkapan فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ ‘Pencipta langit dan bumi’, dengan kata lain, Dzat Yang menciptakan langit dan bumi. Dikatakan, فَطَرَ الشَّيْءَ ‘jika menciptakan sesuatu pertama kali’.
Pembahasan tentang hal itu dan berkenaan dengan ungkapan رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ ‘Rabb segala sesuatu’, sebagaimana pembahasan tentang عَالِمَ الْغَيْبِ ‘Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib’ dari aspek kalimat-kalimat aslinya.
Ungkapan وَمَلِيْكَهُ ‘dan Pemiliknya’, dengan kata lain مَالِكُهُ ‘Pemiliknya’.
Ungkapan مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ ‘dari keburukan jiwaku’. Beliau berlindung kepada Rabbnya dari kejahatan jiwanya. Karena jiwa (nafsu) sangat kuat memerintahkan orang kepada keburukan, sangat kuat kecenderungannya kepada syahwat dan kelezatan yang fana.
Nafsu memiliki sejumlah makna, sedangkan yang dimaksud di sini adalah makna yang komprehensif yang mencakup kekuatan kemarahan dan syahwat dalam diri manusia. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
وَمِنْ شَرِّ نَفْسِيْ
“Dan dan keburukan jiwaku.”
Sedangkan nafsu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah diciptakan selalu dalam kebaikan, dia adalah jiwa yang tenang, sehingga bagaimana dibayangkan bahwa darinya muncul keburukan sehingga beliau berlindung dari keburukannya itu? Boleh jadi yang dimaksud adalah kontinu dan teguh pada apa yang selama ini berada di atasnya, atau sebagai pelajaran bagi umat dan petunjuk bagi mereka menuju jalan do’a. Inilah yang paling jelas.
Ungkapan وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ ‘dari keburukan syetan’. Syetan adalah nama Iblis dari kata شَطَنَ ‘jika menjauh’. Dinamakan demikian karena dia sangat jauh dari rahmat.
Dikatakan dari kata شَاطَ yakni ‘batal’. Dinamakan demikian karena dia selalu membatalkan. Alif dan nun di dalamnya untuk mubalaghah.
Ungkapan وَشِرْكِهِ ‘dan kesyirikannya’, dengan kata lain, syiriknya syetan. Hal ini diriwayatkan dalam dua bentuk, salah satunya شِرْكُهُ dengan syin berkasrah dan ra’ bersukun, yang artinya apa-apa yang diserukan syetan dan dibisikkan olehnya untuk selalu menyekutukan Allah Ta’ala. Kedua, شَرَكُهُ dengan syin dan ra’ berfathah. Dengan maksud jebakan-jebakan dan umpan-umpan syetan.
Ungkapan وَأَنْ أَقْتَرِفَ ‘dari hal yang perbuat’, dengan kata lain, aku melakukan.
Ungkapan أَوْ أَجُرُّهُ ‘atau aku menjalankan kejelekan itu’, dengan kata lain, menggeserkan keburukan itu.
Ungkapan وَإِذَا أَخَذتَ مَضْجَعَكَ ‘dan jika engkau hendak tidur’, dengan kata lain, ketika tidur.[]
Disalin dari Syarh Do’a dan Dzikir Hishnul Muslim oleh Madji bin Abdul Wahhab Ahmad dengan Korektor Syaikh Dr. Sa’id bin Ali Wahf Al-Qahthani, terbitan Darul Falah Jakarta, Hal. 267-269.
[1] At-Tirmidzi, no. 3392; Abu Dawud, no. 5067. Dan lihat Shahih At-Tirmidzi,(3/142).