Syarah Dzikir Sebelum Tidur (13)
18/04/2015 Tinggalkan komentar
اَللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِيْ إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِيْ إِلَيْكَ، وَوَجَّهْتُ وَجْهِيَ إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِيْ إِلَيْكَ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِيْ أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِيْ أَرْسَلْتَ
‘Ya Allah, aku menyerahkan diriku kepada-Mu, aku menyerahkan urusanku kepada-Mu, aku menghadapkan wajahku kepada-Mu, aku merebahkan punggungku kepada-Mu. Karena senang (mendapat pahala-Mu) dan takut pada (siksa-Mu). Tidak ada tempat perlindungan dan penyelamatan dart (siksa)-Mu, kecuali kepada-Mu. Aku beriman pada kitab yang telah Engkau turunkan dan nabi-Mu yang Engkau utus.”[1]
Shahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Al-Bara’ bin Azib Radhiyallahu Anhu.
Di bagian awal hadits ini Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ ثُمَّ قُلْ…
“Jika engkau mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk menunaikan shalat, lalu berbaringlah di atas sisi kananmu dan bacalah…. “
Ungkapan إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ ‘jika engkau mendatangi tempat tidurmu’, dengan kata lain, kasurmu untuk tidur.
Ungkapan فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ‘maka berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk menunaikan shalat’, dengan kata lain, wudhu yang sempurna dengan semua rukun dan syaratnya.
Dalam hadits ini tiga sunnah yang sangat disenangi dan bukan wajib hukumnya, salah satunya:
Pertama. Wudhu ketika hendak tidur. Jika seseorang berwudhu, maka wudhu itu akan menjaganya. Hikmah di dalamnya adalah agar selalu dalam keadaan suci karena khawatir mati di malam itu juga, juga agar bermimpi yang benar dan jauh dari permainan syetan dengan mimpi itu ketika dia tidur sehingga mengejutkannya.
Kedua. Tidur dengan bertumpu pada sisi kanan, karena beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menyukai selalu mengutamakan yang kanan dan karena yang demikian lebih cepat membuat orang bangun.
Ketiga. Dzikir kepada Allah Ta’ala agar menjadi penutup semua amalnya.
Ungkapan اَللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِيْ إِلَيْكَ ‘ya Allah, aku menyerahkan diriku kepada-Mu’, dengan kata lain, aku menyerah dan kujadikan jiwaku tunduk kepada-Mu dan taat kepada hukum-Mu.
Ungkapan وَفَوَّضْتُ أَمْرِيْ إِلَيْكَ ‘kurebahkan punggungku kepada-Mu’. Dikatakan, “Kulindungkan kepada sesuatu”, dengan kata lain, aku haruskan (berlindung) kepadanya. Jika digunakan seperti dalam kalimat itu artinya menjadi isnad. Dikatakan, “Kulindungkan segala urusanku kepada Allah”, dengan kata lain, kusandarkan kepada-Nya. An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Dengan kata lain, aku bertawakal kepada Engkau dan kusandarkan semua urusanku kepada-Mu sebagaimana orang menyandarkan punggungnya kepada apa yang dia bersandar kepadanya.”
Ungkapan رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ ‘karena senang (mendapat pahala-Mu) atau takut pada (siksa-Mu)’ رَغْبَة adalah semangat dan damba dengan penuh kecintaan. رَهْبَة adalah rasa takut dengan hati-hati dan kegelisahan. Arti إِلَيْكَ adalah kupalingkan rasa sukaku kepada apa-apa yang kuinginkan kepada-Mu. Alhasil maknanya adalah rindu kepada pahala-Mu dan dengan rasa takut kepada adzab-Mu.
Ungkapan لاَ مَلْجَأَ ‘tiada tempat perlindungan’, dengan kata lain, tiada benteng.
Ungkapan وَلاَ مَنْجَا ‘dan tidak ada tempat penyelamatan’, dengan kata lain, tiada keselamatan.
Ungkapan مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ ‘dari (siksa)-Mu, kecuali kepada-Mu’, dengan kata lain, tiada benteng yang kugunakan untuk berlindung dan tiada keselamatan dari adzab dan siksaan-Mu melainkan kepada-Mu.
Ungkapan آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِيْ أَنْزَلْتَ ‘aku beriman kepada Kitab-Mu yang Engkau turunkan’, dengan kata lain, aku membenarkan Kitab-Mu yang telah Engkau turunkan kepada Nabi-Mu.
Ungkapan وَبِنَبِيِّكَ الَّذِيْ أَرْسَلْتَ ‘dan kepada Nabi-Mu yang Engkau utus’. Dalam sebagian jalur hadits ini, dari Al-Bara’ Radhiyallahu Anhu bahwa dia berkata, “Kukatakan, ‘dan kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus?'” Beliau bersabda بِنَبِيِّكَ artinya ‘Nabi-Mu’.
Dikatakan, “Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menolak ucapan bara’ karena penjelasannya menjadi berulang dengan tiada faidah tambahan dalam makna. Yang demikian adalah sesuatu yang enggan kepadanya seorang yang berbahasa baligh ‘mendalam’. Karena beliau adalah nabi sebelum menjadi rasul.”
Juga dikatakan, “Bahwa yang demikian adalah dzikir dan do’a. Maka, harus dengan mencukupkan penggunaan lafazh yang telah ada. Dan dipastikan bahwa pengucapan dan huruf-hurufnya tidak dilakukan perubahan apa pun.”
Sebagian para ulama berhujjah dengan hadits untuk mencegah periwayatan dengan makna. Sedangkan jumhur ulama memperbolehkan hal itu bagi orang yang banyak mengetahui dan alim.
Di bagian akhir hadits muncul sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam,
فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ فَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ، وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُوْلُ
“Jika engkau mati pada malam itu, maka engkau mati dalam keadaan fitrah, dan jadikanlah ucapan-ucapan di atas sebagai akhir apa yang kauucapkan.”
Ungkapan فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ فَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ ‘jika engkau mati pada malam itu, maka engkau mati dalam keadaan fitrah’, dengan kata lain, di atas Islam. Jika dikatakan, “Jika seseorang mati di atas keislamannya dan tidak menyebut-kan kalimat-kalimat di atas sedikit pun, maka tidak diragukan bahwa dia mati di atas fitrah. Sehingga apa faidah menyebutkan kalimat-kalimat itu?” Dijawab dengan berbagal macam fitrah. Fitrah orang-orang yang menyebutkan dzikif-dzikir di atas adalah fitrah orang-orang dekat kepada Allah dan orang-orang shalih. Sedangkan fitrah bagi orang-orang selain mereka tadi adalah kaum Mukminin pada umumnya. Wallahu A’lam.[]
Disalin dari Syarh Do’a dan Dzikir Hishnul Muslim oleh Madji bin Abdul Wahhab Ahmad dengan Korektor Syaikh Dr. Sa’id bin Ali Wahf Al-Qahthani, terbitan Darul Falah Jakarta, Hal. 306-310
[1] Al-Bukhari, dalam Fathul Bari, (11/113), no. 6313, 6315, dan 7488; dan Muslim, (4/2081), no. 2710.